Indonesia Website Awards

Sejarah dan Perkembangan Profesi Guru

Sejarah dan Perkembangan Profesi Guru

Sejarah dan Perkembangan Profesi Guru – Halo sobat Shalaazz, Guru merupakan pekerjaan tertua. Lebih dulu dibandingkan arsitek yang baru ada setelah manusia tidak lagi tinggal di gua. Atau, lebih juga dari insinyur metalurgi yang baru muncul pada masa manusia mengenal logam dan pengolahannya.

Pekerjaan guru ada sejak manusia mampu berpikir dan mengenal ilmu pengetahuan. Sepanjang sejarah kehidupan manusia itu, guru selalu ada di tengah masyarakatnya. Ia mengajarkan berbagai ilmu dan pengetahuan untuk mempermudah manusia menjalankan kehidupannya. Atau kadang, hanya mengajarkan kebenaran.   

Dalam lintasan sejarah Indonesia pekerjaan guru ternyata berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Mulai dari zaman kerajaan Hindu-Budha, kesultanan Islam hingga masa Reformasi. 

Pada zaman dahulu, sebelum agama masuk Indonesia, seseorang yang ingin belajar harus mengunjungi seorang petapa.    Petapa itu mungkin saja yang telah meninggalkan takhta kerajaan karena sudah tua dan memperdalam masalah kerohanian. Petapa itulah yang disebut juga guru bagi muridnya yang menuntut ilmu di tempat tersebut.

Biasanya para murid mengerjakan sawah ladang petapa untuk keperluan hidup sehari-hari. Pada masa kerajaan Budha atau Hindu di Indonesia orang belajar di Bihara. Biksu yang mengajar membaca serta menulis huruf sanskerta di Bihara tersebut disebut guru. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka bekerja di ladang.   

Para siswa juga memberikan sedekah dari masyarakat untuk membantu kehidupan sehari- hari. Dalam agama Hindu, guru merupakan simbol bagi suatu tempat suci yang berisi ilmu (vidya) dan juga pembagi ilmu. Seorang guru adalah pemandu spiritual atau kejiwaan murid-muridnya. Dalam agama Buddha, guru adalah orang yang memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran.

Murid seorang guru memandang gurunya sebagai jelmaan Buddha atau Bodhisattva. Dalam agama Sikh, guru mempunyai makna yang mirip dengan agama Hindu dan Buddha, namun posisinya lebih penting lagi dikarenakan salah satu inti ajaran agama Sikh adalah kepercayaan terhadap ajaran sepuluh guru Sikh. Hanya ada sepuluh guru dalam agama Sikh.   

Guru pertama, Guru Nanak Dev adalah pendiri agama ini. Orang India, Cina, Mesir, dan Israel menerima pengajaran dari guru yang merupakan seorang imam atau nabi. Oleh sebab itu, seorang guru sangat dihormati dan terkenal di masyarakat serta menganggap guru sebagai pembimbing untuk mendapat keselamatan dan dihormati bahkan lebih dari orang tua mereka.

Pada masa ini guru berasal dari kasta Brahmana. Mereka mengajarkan segala hal yang berhubungan dengan agama dan kitab suci. Mereka mengajarkan filsafat, sastra, hukum, bela diri, dan lain sebagainya. Guru mendapatkan posisi yang terhormat di masyarakat.   Mereka statusnya lebih tinggi dari para raja dan bangsawan.

Lebih tinggi pula dari para pengusaha. Kasta para guru ini memang lebih mulia dibandingkan kasta Ksatria dan kasta Waisya. Setelah agama Islam masuk di Indonesia orang belajar di Pesantren supaya dapat membaca Al-qur’an dan melakukan Shalat dengan benar. Ulama’ yang mengajar di Pesantren juga dinamakan guru.

Para siswa biasanya tinggal di rumah ulama’ tersebut dan membantu bercocok tanam untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Pada masa itu, guru mengajarkan ilmu pengetahuannya di tempat-tempat tertentu.    Sudah dikenal pula lembaga-lembaga pendidikan. Sebagian besar lembaga pendidikan tersebut di berasrama.

Ini adalah cikal bakal boarding school yang ada sekarang. Menurut keterangan I Tsing, seorang pelajar yang sempat belajar di kerajaan Sriwijaya, pendidikan di Nusantara sudah cukup maju. Bahkan, sistem pendidikan di kepulauan Nusantara dijadikan rujukan oleh negara kerajaan lainnya. Beberapa mahaguru pada saat itu dikenal dalam dunia pendidikan internasional. I Tsing menyebut Satyakirti, Dharmapala dan Djnanabhadra.

Guru Zaman Kesultanan Islam Agama Islam masuk ke Indonesia dengan berbagai macam saluran.    Salah satunya adalah lewat jalur pendidikan dan dakwah. Di jalur pendidikan inilah para ulama mencetak para guru lewat serangkaian pendidikan di pesantren.

Selain, pesantren ada lembaga pendidikan lain, yaitu mengaji di surau atau di langgar. Ilmu pengetahuan yang dipelajari di pesantren meliputi filsafat, tasawuf, bahasa, fikih, akhlak, aljabar, ilmu falak, dan lain sebagainya. Sedangkan, di surau biasanya hanya mempelajari bahasa, tajwid, fikih, dan akhlak.

Baca juga: Bagaimanakah Menjadi Seorang Guru di Era Millenial?

Pada masa kesultanan ini juga sudah dikenal guru dengan spesialisasinya. Ada guru fikih, Hadits, tasawuf, dan lain sebagainya. Model pendidikan pesantren ini juga menggunakan sistem sekolah berasrama dan juga menjadi cikal bakal boarding school saat ini.    Guru Zaman Penjajahan Eropa Pendidikan tradisional di kepulauan Nusantara terus berjalan, meski banyak raja-raja di Nusantara yang ditundukkan oleh Verenigde Oost Indische Compaqnie alias (VOC).

Pemerintah kolonial baru peduli nasib pendidikan kaum bumiputra setelah diberlakukannya Politik Etika atau Politik Balas Budi. Kepedulian itu juga lebih dilandasi oleh kebutuhan Pemerintah Hindia-Belanda akan tenaga-tenaga profesional, seperti dokter, insinyur dan advokat. Jadi, bukan murni niat yang lurus untuk menyejahterakan kaum pribumi. Kebutuhan mendidik kaum profesional ini muncul setelah Pemerintah mengalkulasi alangkah mahalnya mendatangkan dokter, insinyur dan advokat dari Eropa.   

Pendidikan pada masa Politik Etis dilakukan secara modern dan bergaya Eropa. Sekolah guru juga dibentuk untuk melahirkan guru-guru yang mampu mengawal sistem pendidikan kolonial. Ada HIK (Holandse Indische Kweekschool, atau sekolah guru bantu yang ada di semua Kabupaten) dan HKS (Hoogere Kweek School, atau sekolah guru atas yang ada di Jakarta, Medan, Bandung, dan Semarang.

Sedangkan, Europese Kweek School (EKS, sebangsa Sekolah Guru Atas dengan dasar bahasa Belanda dengan maksud memberi ijazah untuk mengajar di sekolah Belanda, yang berbeda dengan HKS) yang hanya diperuntukkan bagi orang Belanda atau pribumi yang mahir sekali berbahasa Belanda ataupun orang Arab dan Tionghoa yang juga mahir sekali berbahasa Belanda, dan hanya ada satu di Surabaya.   

Pada waktu itu, di EKS biasanya satu kelas ada dua puluh delapan orang, maka terdiri 20 orang Belanda, enam orang Arab dan Tionghoa, dan enam orang pribumi. Selain itu juga dikenal HCK atau Hollandsche Chineesche Kweekschool khusus untuk yang keturunan Tionghoa.

Sistem pendidikan kolonial ini mulai mendapat lawan setelah kaum pergerakan nasional membangun sekolah-sekolah yang bernafaskan nasionalisme Indonesia.   

Baca juga: Hari Guru: Pidato Lengkap Nadiem Makarim Kemendikbud

Di antaranya adalah sekolah-sekolah Serikat Islam, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan sekolah-sekolah kaum pergerakan lainnya. Begitu massif dan berpengaruhnya sekolah-sekolah ini membuat pemerintah kolonial berusaha ‘menertibkannya’. Akhirnya, pemerintah menerbitkan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordinantie).

Guru-guru harus mendapatkan sertifikasi dari pemerintah kolonial. Ini berarti ancaman bagi guru dari sekolah-sekolah milik kaum pergerakan nasional. Penerbitan ordonansi ini ditolak oleh kaum pergerakan nasional.   

Seluruh elemen pendidikan, persatuan pelajar hingga partai-partai politik nasionalis menentangnya. Kesatuan gerakan dan kuatnya isu pada masa itu berhasil mendobrak sistem kolonial sehingga pemerintah menarik kembali ordonansi yang telah diterbitkan. Sebuah kemenangan dalam sejarah pendidikan bahkan pergerakan pada masa itu.

Kesadaran untuk bersatu inilah yang mengilhami berdirinya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.   

Para pedagang Portugis dan Belanda yang datang di Indonesia umumnya beragama Kristen, selain berdagang mereka juga menyebarkan agama itu. Mempelajari agama Kristen, membaca dan menulis huruf latin.

Para pendeta yang mengajarkan agama Kristen itu juga disebut guru. Untuk kepentingan penjajahannya Belanda memerlukan pegawai yang pandai menulis dan membaca huruf latin. Karena itu, mereka mendirikan sekolah dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang tidak berkaitan dengan agama. Inilah awal mula sistem Pendidikan modern di Indonesia.   

Pada zaman kemerdekaan Indonesia rakyat memperjuangkan pertahanan kemerdekaannya. Kaum guru Indonesia bertekad turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang diwujudkan dalam salah satu tujuan kelahiran PGRI yaitu : turut aktif mempersatukan kemerdekaan RI. Lahirnya guru berawal dari lahirnya PGRI.

Baca juga: 5 Tips Menjadi Guru Kreatif dan Inovatif Era Milenial

Dimana tepat 100 hari setelah proklamasi Kemerdekaan tepatnya pada tanggal 25 November 1945, PGRI dilahirkan. Setelah PGRI dilahirkan pada tanggal 23 s/d 25 November 1945 ke-1 di Surakarta, di gedung Somaharsana (pasar pon), Van De venter school (sekarang SMP N 3 Surakarta).   

Pada saat itu kongres mendapat sambutan mitraliur Belanda dan serangan kapal terbang yang mengadakan operasi militer dengan sasaran gedung RRI Surakarta.

Kelahiran PGRI sebagai wadah organisasi guru yang sedang berevolusi Kemerdekaan, merupakan manifestasi akan keinsafan dan rasa tanggung jawab kaum guru Indonesia dalam memenuhi kewajiban akan pengabdiannya serta partisipasinya kepada perjuangan menegakkan dan mengisi kemerdekaan RI.   

Guru-guru sadar akan tugasnya bahwa pendidikan adalah sarana utama dalam pembangunan bangsa dan negara, mereka melaksanakan dwifungsi dalam kerjanya, yaitu : digaris belakang mendidik dan mengajar disekolah-sekolah biasa, sekolah peralihan, sekolah pengungsian.

Di samping itu, mereka juga melakukan kerja sama dengan masyarakat mendirikan dapur umum dan mempersiapkan makanan untuk para pejuang di garis depan. Kecuali itu mereka menjadi pemimpin atau komandan barisan tentara : BKR, TKR, TRI/TNI, BARA , API, Hizbullah, Sabilillah, Pesindo, Laskar Rakyat, PMI, dan para pejuang lainnya.

Penulis: Jrux Kuning