Indonesia Website Awards

Kondisi Hukum di Indonesia Saat Ini: Adil bagi ‘mereka’

Hukum

Halo sobat Shalaazz! Kali ini kita akan membahas sedikit gambaran mengenai kondisi hukum di Indonesia pada saat ini. Pertama-tama sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, negara kita merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk terpadat di dunia nomor empat setelah Amerika sebanyak 273.523.615 jiwa (dikutip dari www.top10.id). Oleh karena itulah, negara Indonesia memiliki konstitusi negara yang merupakan hukum perundang-undangan untuk mengatur penduduknya. Namun, meskipun hukum berlaku, masih banyak ditemui kesenjangan hukum yang menjadi masalah sosial di negara ini.

Hukum di Indonesia: “tajam ke bawah, tumpul ke atas”

Ada sebuah kutipan yang berbunyi “hukum di Indonesia tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Kutipan tersebut memiliki makna bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas bawah dibandingkan pejabat tinggi. Tidak hanya itu, melalui kutipan ini pula memberi makna bahwa negara kita pada dasarnya memang sudah krisis keadilan dan kejujuran. Permasalahan sosial ini berangkat dari kasus Nenek Asyani (63) asal Situbondo yang didakwa mencuri dua batang pohon kayu jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur dengan hukuman 1 tahun penjara dan masa percobaan 1 tahun 3 bulan. Meskipun putusan dari hakim ini lebih ringan dari jaksa penuntut umum yakni, 1 tahun 18 bulan, Nenek Asyani tentu tidak terima. Hal ini dikarenakan beliau mengaku bahwa kayu tersebut diambil dari tanah milik suaminya yang meninggal 5 tahun lalu.

Bagaimana tanggapannya setelah membaca contoh kecil di atas? Bukankah sangat mengiris saat membacanya? Contoh di atas hanya sebagian kecil dari puluhan kasus yang terjadi di Indonesia yang diakibatkan dari kesenjangan hukum. Berikut ini beberapa contoh dari kesenjangan hukum yang menjadi masalah sosial di negara kita:

Kasus Novel Baswedan

Siapa lagi yang tidak mendengar perihal berita hukuman untuk terdakwa kasus penyidik KPK, Novel Baswedan yang dihukum hanya 1 tahun penjara. Teramat disayangkan, bukan? Indonesia yang disebut sebagai negara hukum justru telah menunjukkan kepincangan hukumnya sendiri pada kasus ini. Kisah ini bermula ketika Novel Baswedan yang pada saat itu tengah mengupayakan menyelidiki kasus korupsi KTP Elektronik (E-KTP). Beliau disiram dengan air keras saat perjalan pulang menuju kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Seusai melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid dekat kediamannya tersebut. Kemudian Novel Baswedan dibawa ke rumah sakit di Singapura untuk melakukan pengobatan hingga tahun 2018 akhir, Novel kembali pulang ke Indonesia. Tahun 2019, tim gabungan yang beranggotan anggota kepolisian, KPK dan KOMNAS HAM melakukan penyelidikan terhadap kasus ini dengan tenggat waktu tertentu yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo.

Kemudian pada Desember 2019, Polri menyatakan bahwa pelaku penyerangan Novel Baswedan telah ditemukan dan Juni 2020 kemarin, jaksa penuntut hukum menuntut majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana selama satu tahun penjara. Bukankah teramat menggelikan? Kasus kejahatan yang membuat seseorang kehilangan salah satu fungsi anggota tubuhnya secara permanen, justru hanya menerima hukuman selama satu tahun penjara. Sangat bertolak belakang dengan perilakunya.

Luka Lama Hukum di Indonesia Pada Tahun 1998

Peristiwa 1998 merupakan luka sejarah bangsa Indonesia. Pelanggaran HAM terbesar yang mengorbankan banyak jiwa. Mungkin kalian pernah mengenal sejarah ini di buku Pendidikan Kewarganegaraan semasa sekolah menengah di bab pertama yang membahas tentang pelanggaran HAM di Indonesia. Meski hanya pembahasannya terlalu singkat, tapi telah memberi kesadaran pada kita bahwa Indonesia dengan segala permasalahannya tentang hukum masih terjadi ketimpangan.

Contoh dari timpangnya hukum di Indonesia pada kasus 1998 ini terjadi pada beberapa tokoh 1998 seperti buruh Marsinah di Sidoarjo yang menuntut haknya, penyair Wiji Thukul yang hilang hingga kini, penembakan mahasiswa Trisakti, aktivis Munir yang juga sebagai pendiri KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), dan beberapa korban penculikan lainnya seperti Nezar Patria, Andi Arif, Ucok Unandar Siahaan, dan masih banyak lagi. Dari lapisan kasus dari tragedi 1998 ini belum ada kejelasan dari pemerintah tentang pelakunya sendiri. Kasus ini dibiarkan karam dalam persaingan di podium pemerintahan. Bahkan mungkin telah dilupakan. Kasus ini melibatkan Menteri Pertahanan kita Prabowo Subianto. Beliau pada saat itu yang menjadi komandan Tim Mawar dalam kasus hilangnya aktivis, hingga beliau diturunkan dari jabatannya. Oleh karena itu, kita sebagai generasi bangsa Indonesia, perlu merawat ingat tentang tragedi ini sebagai pembelajaran.

Kasus Penjara Mewah Setya Novanto

Bagi penggemar acara TV Mata Najwa mungkin tidak asing dengan kasus penjara mewah mantan ketua DPR Setya Novanto yang terlibat kasus korupsi E-KTP melalui penyelidikan Novel Baswedan. Tidak hanya Setya Novanto. Ternyata penjara mewah lainnya juga ditemukan di sel Nazaruddin anggota DPR fraksi Partai Demokrat dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Apabila dibandingkan dengan sel penjara milik kaum menengah ke bawah, sel penjara pejabat dengan kasus korupsi terlampau mewah dan tidak terlihat seperti sel penjara.

Kasus Suap Pada Pemilihan Umum

Kasus kesenjangan hukum yang satu ini sudah melekat akrab di diri masyarakat Indonesia. Salah satu kasus masalah sosial yang paling banyak ditemui di sekitar kita. Setiap jelang Pemilu, tentunya akan banyak calon yang akan membagikan sumbangan. Berupa uang atau sembako pada masyarakat dengan harapan agar memperoleh suara terbanyak. Bahkan tidak lebih dari itu. Mereka juga ada beberapa di antara yang membayar dalam jumlah yang sangat besar agar suara yang didapat semakin banyak. Padahal telah kita ketahui bersama asas dari Pemilu terdiri dari Langsung, Bebas, Jujur dan Adil atau disingkat LUBERJURDIL. Tidak berhenti di keempat kasus diatas, masih banyak kasus kesenjangan hukum yang menjadi masalah sosial yang terjadi disekitar kita. Solusi dari permasalahan sosial ini perlu ditindak lanjuti dari pemegang kekuasaan tertinggi (Presiden) yang harus tegas dalam menegakkan hukum di Indonesia. Selain itu juga, masyarakat perlu mendukung dan menjadi pondasi yang kokoh untuk permasalahan sosial ini.

Demikian salah satu contoh masalah sosial, kesenjangan hukum dengan beberapa buktinya. Sekian dari penulis, semoga bermanfaat.