Indonesia Website Awards

Memahami Makna Kemerdekaan di Era Milenial Essay

Memahami Makna Kemerdekaan di Era Milenial Essay

Memahami Makna Kemerdekaan di Era Milenial Essay – 17 Agustus 1945 menjadi awal mula Indonesia tercatat sebagai negara yang merdeka di dalam buku sejarah dunia. Dan pada saat itu pula, harapan masyarakat dalam kurun waktu bertahun-tahun lamanya sudah terealisasi di satu hari yang penuh dengan peristiwa monumental. Bagaimana tidak, kerasnya perlakuan penjajah yang menjerat kebebasan bangsa Indonesia semakin lama semakin membendung semangat perjuangan yang luar biasa. Hingga pada akhirnya, pembacaan proklamasi di dalam suatu peristiwa sakral kemerdekaan dapat dilaksanakan dengan khidmat.

Proklamasi merupakan momen sakral

Hal tersebut menjadikan bendungan semangat perjuangan rakyat, kini terlontarkan dan dituangkan melalui beberapa aktivitas kebahagiaan penuh makna. Bermula dari tanda kelahiran bangsa yang bermartabat, serta terlepas dari penindasan hingga muncul buih-buih perdamaian dalam bentuk susunan kalimat yang bukan hanya sekedar kalimat biasa.

Di dalamnya terkandung filosofi teramat luhur sebagai bentuk eksistensi bangsa Indonesia di mata dunia. Tidak lain dan tidak bukan, susunan kalimat tersebut merupakan suatu lambang keluhuran, kebesaran, serta kewibawaan negara Indonesia yaitu proklamasi.
Kini, tujuh puluh tiga tahun sudah buah hasil perjuangan para founding fathers dirasakan oleh rakyatnya.

Tugas Kita Saat Ini Mengisi Kemerdekaan Indonesia

Pengorbanan yang telah dilakukan pun kini dapat di nikmati oleh generasi-generasi milenial yang karenanya dapat terlepas dari tangan penjajah. Bayangkan saja, jika saat itu tidak ada bambu runcing yang melayang, jika saat itu tidak ada strategi gerilya yang luar biasa, jika saat itu tidak ada darah yang dikorbankan, mungkin saat ini tidak ada pula yang namanya panjat pinang, balap karung, dan mungkin hingga saat ini tidak ada yang namanya upacara kemerdekaan.

Dengan demikian, seharusnya tidak ada alasan untuk para milenial mengacuhkan hari bertajukkan kemerdekaan tersebut. Akan tetapi, masih ada penyelewengan berkaitan dengan makna kemerdekaan di sudut pandang milenial hingga saat ini. Hal tersebut membuat gagasan perubahan yang telah diusung oleh para pendiri bangsa Indonesia belum terwujud sepenuhnya. Sebagai contohnya adalah di bidang kejayaan era digital yang didukung dengan globalisasi serta modernisasi hingga merambah ke sudut pedesaan.

Implikasi Era Digital

Meskipun beberapa hal tersebut merupakan suatu perubahan yang menjanjikan kemudahan, akan tetapi dalam banyak kasus malah dimanfaatkan sebagai media pengikis kreativitas. Bahkan, sampai-sampai para pemuda yang berperan sebagai generasi milenial menggunakannya untuk menabur benih-benih perpecahan serta permusuhan.

Baca Juga: 5 Cara Menjadi Pendidik Yang Kreatif Di Era Milenial

Tentunya penyelewengan tersebut merupakan suatu hal yang jelas-jelas bertolak belakang dengan makna kemerdekaan sesungguhnya. Karena, nilai positif yang sepatutnya dihadirkan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan justru tergantikan oleh nilai-nilai negatif. Seperti halnya kebebasan individu yang diagung-agungkan tanpa etika serta estetika dengan mengatas namakan demokrasi.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa kontribusi dalam mengisi kemerdekaan belum dapat diwujudkan secara utuh. Akibatnya, memori publik berkenaan dengan proklamasi hanya sekedar romantisme perjuangan di masa lalu.

Dengan demikian, upaya yang seharusnya dituangkan oleh generasi milenial sebagai bentuk memaknai lebih dalam berkaitan dengan hari kemerdekaan, sebaiknya diwujudkan dalam bentuk imitasi hasrat kaum muda di bidang penggerakan sejarah.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka yang dapat dilakukan adalah mendayagunakan berbagai macam perangkat virtual berlandaskan tanggung jawab. Sebagai contohnya adalah menggunakan akun-akun berbasis digital guna menyatukan komunitas serta meredam suatu problem. Bukan malah memicu munculnya suatu problem. Sehingga, makna dari kemerdekaan di era milenial benar-benar dituangkan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Penulis: Nazilatul Hidayah – Universitas Diponegoro